Adat
upacara kematian dan fungsi ulos dalam budaya Batak memiliki peranan
penting dan saling berkaitan erat. Ulos merupakan simbol budaya Batak,
dan setiap adat pernikahan maupun kematian melibatkan ulos dalam
prosesinya. Ulos diberikan oleh tulang (kerabat dari ibu) atau hula-hula
(kerabat dari istri), dan biasanya dalam melakukannya selalu dimulai
dengan musyawarah terlebih dahulu. Pada artikel Kematian Dan Adat Tradisinya Dalam Budaya Batak
telah disebutkan mengenai beberapa istilah, jenis kematian dan prosesi
adatnya. Kali ini Media Budaya mencoba mengangkat kembali tema yang sama
namun lebih kepada peranan ulos, kronologi dan fungsi Dalihan Na Tolu
di dalamnya.
Adat
upacara pemakaman dalam budaya Batak memberlakukan pemberian ulos
dengan prosesi dan kronologi yang lebih rumit dan lengkap untuk
melibatkan tulang/hula-hula, dongan tubu dan boru (fungsi dalihan na
tolu) bila terjadi kematian pada orang yang sudah berumah tangga atau
berkeluarga. Untuk menentukan siapa saja yang berhak memberikan ulos
kepada yang meninggal dan kepada keturunan yang ditinggalkan haruslah
melalui musyawarah (pangarapoton) atau rapat untuk membahas status
meninggal orang tersebut dan prosesi apa yang tepat (partuatna) agar
jenazah bisa dikuburkan semestinya.
Pangarapotan, adalah
suatu penghormatan kepada yang meninggal yang statusnya telah memiliki
keturunan yang telah berumah tanggasebelum acara besarnya dan
penguburannya atau di halaman
(bilamana memungkinkan).
Dalam hal ini suhut dapat meminta tumpak (bantuan) secara resmi dari
keluarga
yang tergabung dalam Dalihan Natolu disebut Tumpak di Alaman.
Partuatna, yaitu hari
yang dianggap menyelesaikan Adat kepada seluruh halayat Dalihan Natolu
yang
mempunyai hubungan berdasarkan adat. Pada waktu pelaksanaan ini pula
Suhut
akan memberikan Piso-piso/situak Natonggi kepada kelompok
Hula-hula/Tulang
yang mana memberikan Ulos tersebut diatas kepada yang meninggal dan
keluarga
dan pemberian uang ini oleh keluarga tanda kasihnya.. Juga pada waktu
bersamaan ini pula dibagikan jambar-jambar sesuai dengan fungsinya
masing-masing dengan azas musyawarah sebelumnya, setelah itu
dilaksanakanlah
upacara adat mandokon hata dari masing-masing pihak sesuai dengan
urutan-urutan secara tertulis. Setelah
selesai, bagi orang Kristen diserahkan kepada Gereja (Huria)
untuk seterusnya dikuburkan.
Peranan dan Fungsi Dalihan Na Tolu Dalam Penyerahan Ulos (Mangulosi)
Pemberian Ulos Saput, diberikan
kepada yang meninggal dunia sebagai tanda perpisahan. Siapakah yang
berhak memberikan
SAPUT tersebut, dalam hal ini perlu kita mempunyai satu persepsi untuk
masa
yang akan datang karena hal ini banyak berbeda pendapat menurut
lingkungannya
masing-masing, misalnya HULA-HULA/TULANG.
Pemberian Ulos Tujung, Dalam
hal ini semua dapat
menyetujui dari pihak HULA-HULA
Pemberian Ulos Holong, Dari
semua pihak
Hula-hula , Tulang , Tulang Rerobot , Bona Tulang bahkan Bona ni Ari
termasuk dari Hula-hula ni na Marhaha Maranggi , Hula-hula ni Anak
Manjae , berhak memberikan kepada keluarga
yang meninggal.
Bagaimanakah
hubungannya dengan Adat Dalihan Natolu diluar ulos tersebut yang
mempunyai
harga diri (dalam Pesta Adat), terjadilah beberapa
pelaksanaan
setelah adanya musyawarah atau lazim disebut Tonggo Raja atau Ria Raja oleh beberapa
Dalihan
Na Tolu disebut Boanna. Boan ini (yang dipotong pada hari H-nya) terdiri
dari
beberapa macam:
Babi/Kambing,
disebut Siparmiak-miak
Sapi,
disebut Lombu
Sitio-tio
Kerbau,
disebut
Gajah Toba
Sesuai
dengan Adat
Dalihan Natolu tingkatan daripada Boan tersebut disesuaikan dengan
Parjambaron.
Dari
informasi di atas, dapat diilustrasikan bahwa adat prosesi kematian dan
pemakaman laki-laki atau perempuan yang meninggalkan keturunannya, baik
bila masih ada yang belum menikah (Sari Matua), sudah menikah semua dan
punya keturunan lagi/cucu (Saur Matua), maupun telah bercicit (Saur
Matua Bulung), peranan tulang dan hula-hula sangat besar.
Ilustrasi dan Kronologi Prosesi Adat Dan Pemakaman Jenazah
Namun
sebelum perlakuan terhadap hula-hula tersebut dilakukan terlebih dahulu
ada rapat (pangarapotan) mengenai waktu dan adat semestinya
(partuatna) oleh keluarga dan kerabat yang meninggal sesuai marganya
(hasuhutan) untuk meminta kelayakan prosesi berdasarkan status yang
meninggal kepada masyarakat adat setempat (dongan sahuta). Kesepakatan
ini lalu akan berlanjut pada proses Tonggo Raja atau Ria Raja, di mana
berdasarkan hasil rapat keluarga sebelumnya sudah jelas rencana prosesi
yang diinginkan, akan mengundang tulang (saudara ibu dari pihak
laki-laki), tulang rorobot (saudara ibu dari pihak perempuan), bona
tulang (saudara nenek dari pihak laki-laki), bona ni ari (saudara ibu
dari kakek pihak laki-laki) dan seterusnya ke atas (bila memungkinkan
tergantung status umur maupun keturunan yang meninggal), hula-hula
(saudara dari pihak istri), hula-hula na marhamaranggi (saudara dari
ipar perempuan) dan hula-hula na poso (saudara dari menantu
perempuan/parumaen).
Tujuan
dari Tonggo Raja atau Ria Raja ini adalah memohon kepada tulang dan
hula-hula tersebut agar bersedia kiranya untuk menutupkan ulos saput
pada jenazah dan memberikan ulos kepada keluarga yang ditinggalkan. Pada
saat memohon ini juga dilakukan pembagian jambar (hak atas statusnya
dalam Dalihan Na Tolu di acara tersebut) sebagai syarat permohonan yang
telah disetujui. Bila yang meninggal adalah laki-laki, yang menutupkan
ulos ke jenazah adalah saudara atau marga pihak ibu dari orang yang
meninggal (tulang dari laki-laki meninggal tersebut). Bila yang
meninggal adalah perempuan, yang menutupkan ulos adalah saudara atau
marga dari perempuan tersebut (hula-hulanya atau ibotonya, tulang dari
anak-anaknya).
Bila
telah sepakat, maka prosesi menjelang pemakaman akan berlanjut di
halaman tempat peti jenazah di letakkan. Kesepakatan di Tonggo Raja atau
Ria Raja tersebut direalisasikan diiringi dengan musik atau gondang
(sesuai permintaan dan kesepakatan di pangarapoton) seiring dengan
pemberian ulos oleh tulang dan hula-hula kepada kelurga yang
ditinggalkan (pemberian ini telah dicatat urutannya). Sebagai ganti
pemberian tersebut pihak keluarga yang diulosi akan membalasnya dalam
bentuk piso-piso/pasituak na tonggi sebagai tanda terima kasih dan
selamat jalan kepada pemberi ulos. Perlu dicatat pula, bahwa agama juga
memiliki peranan dalam prosesi ini. Bila dia seorang Kristen, pada saat
penutupan peti jenazah dan memasukkan ke liang lahat, prosesi dipimpin
oleh pemuka gereja (pendeta).
Hal
yang perlu diperhatikan adalah, ketika malam sebelumnya di Tonggo Raja
saat pembagian jambar, jambar yang diserahkan sesuai kedudukannya harus
demikian pula jambar yang diserahkan ketika prosesi adat di halaman
menjelang pemakamannya esok harinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar